KETUA MAHKAMAH AGUNG INDONESIA KUNJUNGI MAHKAMAH AGUNG NORWEGIA
Oslo-Humas: Setelah sebelumnya mengunjungi fakultas hukum di Universitas Oslo, Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia bersama para delegasi mengunjungi Pengadilan Distrik Oslo (Oslo Tingret), Mahkamah Agung Norwegia, dan Pusat Pelayanan Mediasi Nasional Norwegia pada Selasa,10 Mei 2022.
Kunjungan ini dimaksudkan untuk mendiskusikan sistem peradilan kedua negara, fitur-fitur yang dimiliki pengadilan Norwegia. Selain itu, rombongan juga melihat langsung fasilitas dan situasi gedung pengadilan dan infrastruktur pendukung yang tersedia. Secara khusus sistem peradilan yang menjadi fokus pembahasan di hari kedua ini adalah seputar kesatuan hukum, disparitas putusan serta implementasi keadilan restoratif di Norwegia.
Di Pengadilan Distrik Oslo delegasi diterima oleh Hakim Steinar Backe dan berkesempatan untuk melakukan tur keliling pengadilan Distrik Oslo dan membahas tentang Sistem Peradilan di Norwegia. Peradilan Norwegia sendiri terdiri dari satu Mahkamah Agung, enam Peradilan Tingkat Banding , dua puluh tiga pengadilan Distrik dan 356 badan konsiliasi.
Pengadilan Oslo yang merupakan pengadilan terbesar dan tersibuk di Norwegia. Pengadilan tersebut memiliki 90 orang Hakim, 40 orang Hakim Muda (Deputy Judge), 110 Judicial Clerks dan 50 orang staf administrasi. Pengadilan Oslo menempati gedung 11 lantai yang dibangun tahun 1994 dan merupakan pengadilan dengan infrastruktur paling lengkap dan canggih di Oslo. Gedung tersebut memuat 50 ruang sidang selain juga memuat ruang untuk notaris publik. Pengadilan ini pada intinya menangani mayoritas perkara perdata dan perkara pidana, dengan sedikit perkara administrasi.
Salah satu fitur penting dalam peradilan norwegia adalah hakim awam (layjudges) pada setiap perkara. Ada sekitar 600 layjudges di seluruh Norwegia yang ditunjuk dalam daftar layjudge untuk periode 4 tahun. Layjudge ini adalah tokoh masyarakat yang dinominasikan oleh pemerintah daerah untuk duduk pada perkara2 pidana tertentu. Dalam persidangan majelis, maka Layjudge memiliki suara yang setara dengan hakim biasa.
Mahkamah Agung Norwegia merupakan puncak dari kekuasaan yudikatif di Norwegia yang memeriksa perkara perdata, pidana, konstitusi. Mahkamah Agung Norwegia dibentuk tahun 1815, dan saat ini memiliki 20 orang Hakim Agung termasuk Ketua Mahkamah Agung. Setiap tahunnya Mahkamah Agung Norwegia menerima sekitar 2000 perkara, dan dari situ perkara harus memperoleh persetujuan Appeal Selection Committee untuk dapat diperiksa oleh Mahkamah Agung Norwegia. Appeal Selection Committe memiliki dua tugas, yaitu menentukan upaya hukum yang diajukan layak untuk diperiksa, dan memeriksa upaya hukum terhadap penetapan dan putusan. Biasanya Appeal Selection Committee terdiri dari majelis yang berjumlah total 5 orang, yang dipilih dari antara hakim Mahkamah Agung Norwegia.
Mahkamah Agung Norwegia bukan sekedar pengadilan banding tingkat ketiga, tugasnya tidak untuk memperbaiki kesalahan putusan pengadilan tingkat banding. Hanya perkara-perkara yang dianggap penting yang akan diperiksa oleh Mahkamah Agung, perkara yang tidak memuat masalah prinsip juga dapat diijinkan untuk diperiksa, apabila perkara tersebut membawa konsekuensi besar bagi pemohon dan diperkirakan putusan pengadilan banding tidak tepat, atau telah terjadi kelemahan signifikan dalam pelaksanaan hukum acara di pengadilan banding. Hanya izin khusus diberikan kepada perkara tersebut atas dasar kebutuhan kontrol terhadap kualitas putusan.
Chief Justice Toril Marie Øie dalam sambutannya menyambut baik kedatangan delegasi MARI. Ia didampingi oleh Sekretaris Jenderal Supreme Court Bente J Kraugerud dan Professor Morten Holmboe PhD dari Norwegian Police University College. Mereka menerima delegasi MARI di ruang rapat utama Supreme Court Norwegia.
Pada kesempatan tersebut Pimpinan MARI didampingi Duta Besar RI untuk Norwegia dan Islandia Prof. Dr. Todung Mulya Lubis meninjau salah satu ruang sidang Mahkamah Agung Norwegia dengan dipandu oleh Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung Norwegia Ms Bente J Kraugerud.
KEPASTIAN HUKUM DAN DISPARITAS PUTUSAN
Dengan sistem hukum Eropa Kontinental yang telah berbaur dengan common law peradilan Norwegia mengandalkan asas preseden dalam menjaga konsistensi dan menghindari disparitas putusan. Pengadilan tingkat banding dan Mahkamah Agung berperan penting dalam menjaga hal tersebut melalui putusan yang konsisten. Putusan pengadilan kerap mengutip putusan hakim seblumnya di pengadilan yang lebih tinggi sebagai bagian dari pertimbangan hukum putusan untuk memastikan konsistensi. Kemandirian hakim disini di definisikan ketat sebagai kemandirian institusional dan bukan kemandirian individu dalam mengambil putusan, Sehingga keterikatan pada preseden, yaitu putusan pengadilan yang lebih tinggi menduduki peran sangat penting.
Salah satu perangkat penting yang digunakan pengadilan Norwegia untuk ini adalah akses ke database perkara. Uniknya database ini dikelola oleh pihak ke tiga, dimana pengadilan-pengadilan di Norwegia juga membayar hak akses kepada pihak ketiga ini, begitu juga masyarakat. Sistem bernama Lovdata ini dipergunakan sebagai tempat untuk menelusuri putusan.
PELAKSANAAN KEADILAN RESTORATIF
Delegasi juga berkesempatan untuk membahas issue tentang Restorative Justice yang dipaparkan oleh Professor Morten Holmboe, PhD dari Nowegian Police University College. Profeeos Holboe menjelaskan issue RJ dari secara umum dari perspektif hukum Norwegia. Menurutnya ada tiga hal yang mendorong RJ di Norwegia, yaitu kebutuhan untuk memberikan ruang bagi korban untuk bersuara, keinginan untuk melunakkan hukuman, khususnya bagi pelaku yang dibawah umur, dan terakhir, kebutuhan bagi negara untuk menekan biaya. Di Norwegia RJ dapat diaplikasikan baik bagi perkara perdata maupun pidana. Ada ketentuan khusus tentang hukum pidana bagi anak dibawah umur yang serupa dengan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, yang mengatur khusus pemidanaan bagi anak.
Professor Holmboe juga menjelaskan tentang kekuatan serta kelemahan konsep RJ di Norwegia, yang menurutnya memberikan penguatan bagi para pihak, mampu membuat para korban merasa lebih aman di masa yang akan datang, perbaikan bagi korban, serta juga menyadarkan pelaku tentang implikasi tindak pidana nya bagi orang lain, selain itu Restorative Justice juga membuka ruang bagi masyarakat untuk mengambil peran dalam penyelesaian masalah dan mengambil inspirasi dari keadilan tradisional.
Sementara itu Professor Holmboe juga menguraikan beberapa kelemahan pelaksanaan Restorative Justice di Norwegia yang meliputi, para pihak mungkin tidak berada dalam posisi yang setara, korban juga bisa merasa dipaksa untuk menerima permohonan maaf, pelaku juga mungkin harus mengklaim menerima fakta-data dari tindakannya untuk menghindari hukuman tradisional, dan terakhir, mediator juga kerap memiliki terlalu banyak diskresi untuk menentukan bentuk hukuman. (AS/humas MA)