Lambang Mahkamah Agung Republik Indonesia
Lambang Mahkamah Agung Republik Indonesia
Berita / Selasa, 9 Desember 2025 17:04 WIB / Satria Kusuma

MAHKAMAH AGUNG TEGASKAN PENGUATAN INTEGRITAS DALAM SEMINAR NASIONAL HAKORDIA 2025

MAHKAMAH AGUNG TEGASKAN PENGUATAN INTEGRITAS DALAM SEMINAR NASIONAL HAKORDIA 2025

Jakarta – Humas: Dalam rangka memperingati Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia) Tahun 2025, Mahkamah Agung Republik Indonesia menggelar Seminar Nasional dengan mengusung tema “Memutus Mata Rantai Judicial Corruption: Sinergi Pengawasan, Penindakan, dan Integritas Moral”. Kegiatan yang berlangsung secara luring dan daring tersebut menghadirkan sejumlah narasumber, yakni Plt. Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung, Suradi, S.H., S.Sos., M.H. Ketua Bidang Peningkatan Kapasitas Hakim Komisi Yudisial, Sukma Violetta, S.H., LL.M. serta Plt. Direktur Penuntutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Joko Hermawan Sulistyo, S.H., M.H.

Dalam seminar, Plt. Kepala Badan Pengawasan MA mengingatkan kepercayaan publik merupakan aset paling berharga bagi lembaga peradilan. Tanpa integritas, putusan pengadilan tidak lebih dari sekadar teks hukum yang kehilangan ruh keadilannya.

“Yang mulia Pak Ketua Mahkamah Agung menyampaikan kepercayaan publik adalah modal yang paling berharga, putusan tanpa integritas hanyalah tek hukum tanpa makna,” ucapnya di Balairung Mahkamah Agung, Selasa (9/12).

Dirinya juga menegaskan integritas menentukan nilai keadilan dari setiap putusan yang dijatuhkan hakim.

“Kalau itu tanpa ada integritas dalam memberikan putusan artinya banyak terabaikan dari nilai keadilan maupun nilai kepastian.”

Pada kesempatan yang sama disampaikan pula praktik korupsi di lingkungan peradilan atau judicial corruption merupakan bentuk kejahatan yang sangat berbahaya yang dapat menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan secara keseluruhan.

“Konteks judicial corruption itu masuk dalam extraordinary crime, kejahatan yang luar biasa, kenapa luar biasa, disamping merusak integritas lembaga juga akan tidak memberikan kepastian hukum ini sangat berbahaya sekali,” tegasnya.

Dirinya turut mengungkapkan berbagai modus judicial corruption yang kerap terjadi, salah satunya manipulasi waktu penanganan perkara.

“Salah satunya adalah bentuk utama dari judicial corruption adalah suap di administrasi ini ada yang kadang-kadang membayar untuk biar penanganannya dipercepat, ada juga penanganannya diperlambat,” ungkapnya.

Pria yang telah dilantik sebagai Hakim Agung Kamar Pidana itu juga menyampaikan praktik jual beli putusan dan pengaturan majelis hakim disebut sebagai pelanggaran yang paling merusak wibawa peradilan.

“Begitu juga jual-beli putusan ini yang praktek yang paling buruk dan merusak citra hakim maupun citra lembaga Mahkamah Agung secara umumnya,” lanjutnya.

Untuk menutup celah terjadinya penyimpangan, Mahkamah Agung diakui terus melakukan pembenahan secara berkelanjutan melalui penguatan pengawasan, khususnya di bidang administrasi perkara. Badan Pengawasan Mahkamah Agung menjadi garda terdepan dalam memastikan setiap proses berjalan sesuai ketentuan.

“Makanya kita di Badan Pengawasan, di Mahkamah Agung juga membenahi itu dengan adanya satgas, dengan adanya itu adalah bagian dari itu kita selalu pelototi untuk melakukan pengawasan berkaitan dengan administrasi,” katanya.

Secara strategis, upaya penguatan integritas turut dilakukan melalui Cetak Biru Pembaruan Peradilan yang menjadi arah kebijakan Mahkamah Agung dalam jangka panjang. Pembaruan tidak hanya menyentuh aspek sistem, tetapi juga menyasar perubahan budaya kerja aparatur peradilan.

“Visi kita adalah untuk mewujudkan badan peradilan yang agung tentunya ini dengan ada renstra melalui transformasi organisasi, manajemen maupun budaya kerja,” jelasnya.

Di sisi teknis yudisial, para hakim diingatkan agar senantiasa berpegang teguh pada hukum acara sebagai rambu utama dalam memutus perkara. Kepatuhan terhadap hukum acara dipandang sebagai benteng awal dalam mencegah terjadinya penyimpangan putusan.

“Bapak-Ibu terutama Bapak-Ibu hakim harus pegang teguh hukum acaranya jadi jangan sampai menyimpang dari hukum acara,” pesannya.

Penguatan pengawasan melekat (waskat) di setiap satuan kerja juga ditegaskan sebagai sebuah kewajiban bagi pimpinan pengadilan. Waskat menjadi instrumen penting untuk memastikan pembinaan berjalan secara berkelanjutan di lingkungan kerja masing-masing.

“Nanti harus ada penguatan di pengawasan melekatnya. Kalau Bapak-Ibu tidak melakukan itu, Bapak-Ibu akan diberhentikan atau tidak melakukan pembinaan nanti akan ditinjau jabatannya dihilangkan ini,” lanjutnya.

Selain pengawasan internal, Mahkamah Agung juga menaruh perhatian besar pada penguatan sinergi dengan lembaga pengawas eksternal, khususnya Komisi Yudisial. Kolaborasi lintas lembaga dinilai penting untuk menciptakan sistem pengawasan yang saling melengkapi dan saling menguatkan.

Sementara, Ketua Bidang Peningkatan Kapasitas Hakim Komisi Yudisial, Sukma Violetta, S.H., LL.M. menuturkan judicial corruption merupakan bentuk korupsi yang paling berbahaya karena merusak fondasi negara hukum.

“Kalau kita bandingkan dengan korupsi di bidang procurement misalnya, yang rugi ya uang negara. Tetapi kalau judicial corruption itu menghancurkan hal-hal dasar. Menghancurkan keadilan, justice. Menghancurkan prinsip negara hukum, rule of law,” tuturnya.

Ia juga menyoroti praktik judicial corruption dapat terjadi dalam proses pengangkatan, promosi, dan mutasi hakim yang tidak berbasis sistem merit.

“Termasuk judicial corruption bentuknya adalah pengangkatan, promosi atau mutasi yang tidak berdasarkan merit system. Tidak berdasarkan kompetensi dan tidak berdasarkan tingkat integritas tinggi dari hakim yang dipromosi,” ujarnya.

Pada kesempatan yang sama, Plt. Direktur Penuntutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Joko Hermawan Sulistyo, S.H., M.H. menyebutkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) menjadi instrumen penting dalam mendeteksi tindak pidana korupsi.

Tapi kalau memang ada harta yang kita miliki bersumber dari penghasilan yang tidak sah, kita akan kesusahan mengisi LHKPN ini,” ujarnya.

Bahkan, LHKPN kerap digunakan dalam pengungkapan perkara gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

“Dan LHKPN ini sering kami gunakan untuk perkara-perkara gratifikasi, suap besar dan TPPU di situ,” tambahnya. (sk/ds/RS/Photo:sno/zhd)




Kantor Pusat