KETUA MA: PERADILAN MEMILIKI PERAN STRATEGIS HADAPI KRISIS BUMI
Jakarta – Humas: Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Prof. Dr. Sunarto, S.H., M.H., menyampaikan pentingnya pembaruan paradigma hukum untuk menjawab tantangan krisis ekologis global.
Hal tersebut diungkapkannya dalam Seminar dan Peluncuran Buku “Paradigma Hukum Baru Atasi Krisis Bumi” yang diselenggarakan oleh Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) bekerja sama dengan Indonesia Center for Environmental Law (ICEL), di Hotel Borobudur Jakarta, pada Kamis, 4 Desember 2025.
Kegiatan ini turut dihadiri Menteri Lingkungan Hidup RI, Dr. Hanif Faisol Nurofiq, Prof. Louis J. Kotzé, Guru Besar dari Wageningen University and Research, Belanda, Sam Bookman dari Harvard Law School, Amerika Serikat serta para pakar hukum, pakar lingkungan, dan akademisi dari dalam dan luar negeri.
Dalam sambutannya, Ketua MA menyampaikan bahwa dunia saat ini memasuki era antroposen, sebuah periode ketika meningkatnya pengaruh aktivitas manusia, terhadap perubahan iklim, lingkungan, dan keseimbangan ekosistem global. Ketua MA menyoroti tingginya angka bencana ekologis di Indonesia sepanjang 2024, yang menunjukkan betapa seriusnya triple planetary crisis: perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan polusi.
Pada kesempatan tersebut, sebagai bentuk kepedulian dan keprihatinan terhadap bencana yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, Guru Besar Universitas Airlangga tersebut mengajak hadirin mengheningkan cipta bagi para korban bencana tersebut.
Langkah Progresif Peradilan
Ketua MA menegaskan bahwa Mahkamah Agung telah mengambil langkah konkret melalui penerbitan PERMA Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup. Aturan ini memperkuat peran peradilan, tidak hanya sebagai penyelesai sengketa, tetapi juga sebagai institusi yang menjamin perlindungan lingkungan hidup secara substantif.
“Judicial activism dalam perkara lingkungan hidup bukan keberpihakan politik, tetapi keberpihakan pada amanat konstitusi serta hak rakyat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat,” ungkapnya.
Untuk memastikan respons peradilan yang efektif, Ketua MA menekankan pentingnya kapasitas ilmiah dan pendekatan interdisipliner bagi para hakim. Ia menyebut empat ciri utama putusan yang berkualitas di bidang lingkungan hidup: berbasis bukti ilmiah, selaras dengan dinamika global, melampaui pemikiran normatif, serta didukung visi dan pengetahuan mutakhir.
Beberapa program penguatan telah dilaksanakan Mahkamah Agung, antara lain sertifikasi hakim lingkungan, pengembangan anotasi putusan, serta kerja sama pertukaran pengetahuan dengan berbagai negara.
Peluncuran Buku dan Harapan Ke Depan
Pada kesempatan tersebut, Ketua MA secara resmi meluncurkan buku “Paradigma Hukum Baru Atasi Krisis Bumi”, yang diharapkan menjadi rujukan akademis dan praktis bagi para penegak hukum dan pemerhati lingkungan.
Mengakhiri sambutannya, Ketua MA menegaskan bahwa menjaga lingkungan merupakan amanat konstitusi sekaligus perintah moral. Ia mengutip Surah Ar-Rum ayat 41 “Sungguh telah tampak kerusakan di darat maupun lautan, akibat ulah perbuatan tangan manusia”. Ayat ini sebagai pengingat bahwa kerusakan di darat dan laut merupakan akibat ulah manusia, dan setiap upaya perbaikan adalah bagian dari nilai-nilai luhur yang harus dijunjung.
“Bahkan, 4 kali Tuhan mengulang-ulang perintah, dalam 4 ayat yang berbeda: “wa laa tufsiduu fil ardh”, “dan janganlah kalian berbuat kerusakan di muka bumi”. Itu artinya, secara a contrario, segala upaya yang dilakukan, dalam rangka perbaikan dan menyelamatkan Bumi, adalah perintah ilahi, yang berdimensi ukhrawi,” ujarnya.
Ketua MA berharap seminar ini menjadi wadah kolaborasi lintas sektor serta memperkuat arah masa depan hukum lingkungan di Indonesia. (azh/RS/Photo: Sno)