KETUA MA TEGASKAN HAKIM TIDAK BISA DIGANTIKAN OLEH AI
Bali – Humas MA: Dalam rangkaian kunjungan kerjanya ke Denpasar, Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Prof. Dr. H. Sunarto, S.H., M.H., memberikan kuliah umum di Universitas Udayana pada Senin, 30 Juni 2025.
Dalam kuliah umum bertajuk “Membangun Integritas dan Tantangan Etika Profesi Hukum di Era Society 5.0”, Guru Besar Universitas Airlangga ini menyoroti pentingnya etika dan integritas di tengah kemajuan teknologi dalam dunia hukum.
Acara ini turut dihadiri oleh Ketua Kamar Perdata Mahkamah Agung I Gusti Agung Sumanatha, S.H., M.H., Kepala Biro Hukum dan Humas MA Dr. Sobandi, S.H., M.H., Wakil Rektor III Universitas Udayana, Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana, para Hakim Tinggi dan Hakim Pertama wilayah Denpasar, serta civitas akademika lainnya.
“Profesi hukum kini menghadapi tantangan baru di era Society 5.0, khususnya dalam memanfaatkan teknologi untuk pelayanan peradilan. Namun, teknologi harus digunakan sebagai alat untuk mencapai keadilan, bukan sebagai sarana manipulasi,” tegas Sunarto.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa Mahkamah Agung terus beradaptasi dengan perkembangan teknologi melalui implementasi sistem peradilan elektronik, seperti e-Court dan e-Berpadu. Sepanjang tahun 2024, sebanyak 13.482 perkara kasasi dan peninjauan kembali telah diajukan secara elektronik. Jumlah perkara perdata yang masuk melalui e-Court meningkat hampir 31%, sementara perkara banding elektronik meningkat lebih dari 62% dibanding tahun sebelumnya.
Melalui aplikasi e-Berpadu, Ketua MA menyatakan, lebih dari 778 ribu administrasi perkara pidana diproses secara elektronik pada tahun 2024. Hal ini menunjukkan percepatan transformasi digital di sistem peradilan pidana.
Menurut Ketua MA, di tengah berbagai perubahan tersebut, integritas tetap menjadi kunci utama dalam menjaga kepercayaan publik terhadap profesi hukum. Mahkamah Agung, kata Sunarto, telah mengambil berbagai langkah strategis, termasuk penguatan pengawasan, rekrutmen berbasis merit, serta penerapan kebijakan zero tolerance terhadap pelanggaran etika.
“Memilih menjadi profesional hukum adalah memilih jalan yang sunyi, namun penuh makna dan tanggung jawab besar. Mari kita jaga profesi ini agar tetap kompeten, berintegritas, dan menjadi solusi bagi masyarakat,” ujarnya.
Terkait penggunaan kecerdasan buatan (AI), Sunarto menjelaskan bahwa Mahkamah Agung telah memanfaatkan teknologi AI, salah satunya melalui aplikasi Smart Majelis. Aplikasi ini menggunakan AI untuk membantu pemilihan majelis hakim secara otomatis, dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti beban kerja, pengalaman, dan keahlian hakim.
Namun demikian, Sunarto menegaskan bahwa profesi hakim tidak bisa digantikan oleh AI.
“Hakim tidak bisa digantikan oleh AI. Meskipun AI memiliki kemampuan berpikir, ia tidak memiliki nalar dan hati nurani,” tegasnya.
Sunarto menekankan bahwa putusan yang dikeluarkan oleh hakim bukan sekadar produk akal yang rasional, tetapi juga cerminan dari perasaan yang terdalam (nurani) akan keadilan hakiki. Untuk itu, baginya seorang hakim harus memiliki pemahaman yang mendalam akan nilai-nilai keadilan yang bukan sekadar berasal dari buku-buku hukum yang dipelajari, tetapi dari pemahaman yang bersumber dari hati nurani.
Baginya, hukum tanpa disertai keadilan hanyalah seperangkat aturan yang kering dan tanpa ruh, maka hakim bertugas untuk menjadikannya hidup.
Menutup kuliahnya, Sunarto mengajak mahasiswa untuk menanamkan nilai-nilai integritas sejak dini. Ia menekankan bahwa profesi hukum bukan hanya menuntut keahlian, tetapi juga komitmen terhadap keadilan sosial dan etika profesional. (azh/RS/ITphoto:Yrz)