PENDEKATAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KONTRAK KOMERSIAL INTERNASIONAL BERBAHASA ASING
Dwi Hananta (Hakim Pengadilan Negeri Surakarta Kelas I A Khusus, Kandidat Ph.D. pada Sourthwest University of Political Science and Law)
Pembentukan zona perdagangan bebas terus bertambah, hubungan perdagangan lintas negara semakin terbuka, mendorong peningkatan hubungan hukum transnasional secara signifikan. Untuk menjembatani kepentingan para pihak, agar ada kesepahaman tentang substansi yang diperjanjikan, maka hubungan hukum yang diikat dengan perjanjian dalam konteks lintas batas ditulis dalam teks bahasa yang disepakati.
Di lain sisi, terdapat kepentingan nasional yang juga perlu mendapat perlindungan, bahasa nasional adalah salah satunya. Bagi sebuah bangsa, bahasa bukan hanya sekedar sarana berkomunikasi dan berinteraksi, sebagaimana disebutkan dalam konsideran Undang-Undang RI Nomor 24
Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (selanjutnya disebut UU No. 24/2009), bahwa bahasa bersama dengan bendera, lambang negara, dan lagu kebangsaan, merupakan sarana pemersatu, identitas, dan wujud eksistensi bangsa yang menjadi simbol kedaulatan dan kehormatan negara. Bahasa juga merupakan manifestasi kebudayaan yang berakar pada sejarah perjuangan bangsa, kesatuan dalam keragaman budaya, dan kesamaan dalam mewujudkan cita-cita bangsa dan Negara.
Dalam Pasal 31 UU No. 24/2009 ditentukan bahwa “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia. Nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris.”
Selanjutnya dalam peraturan pelaksana, Peraturan Presiden RI Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia (selanjutnya disebut Perpres No. 63/2019) ditentukan pula bahwa, “Bahasa nasional pihak asing dan/atau bahasa Inggris digunakan sebagai padanan atau terjemahan Bahasa Indonesia untuk menyamakan pemahaman nota kesepahaman atau perjanjian dengan pihak asing.”
Pengaturan tentang kewajiban penggunaan Bahasa Indonesia dalam nota kesepahaman atau perjanjian tersebut dalam beberapa kasus dijadikan dasar hukum untuk mengajukan gugatan pembatalan perjanjian, meskipun tentu saja pada saat ditandatanganinya perjanjian mereka mengetahui dan menyadari bahwa perjanjian yang mereka tandatangani tersebut tertulis dalam bahasa asing tanpa ada teks perjanjian dalam Bahasa Indonesia.
Pengadilan tingkat pertama, tingkat banding, bahkan majelis hakim di Mahkamah Agung sekalipun memiliki pandangan dan sikap yang berbeda- beda akan hal ini, sehingga putusan yang dijatuhkan pun bervariasi. Inti perbedaan pendapat adalah tentang apakah kewajiban penggunaan Bahasa Indonesia dalam perjanjian adalah bersifat imperatif karena diatur demikian dalam undang-undang, ataukah bersifat voluntary karena tidak ditentukan adanya sanksi atas pelanggaran kewajiban tersebut.
Lebih lanjut, pada kelompok pendapat yang menyatakan bahwa aturan tersebut bersifat wajib juga terdapat ketidaksependapatan dalam penentuan akibat hukum atas pelanggaran tersebut. Ragam pendapat tersebut tergambar dalam putusan-putusan sebagai berikut:
Kasus 1: Nine AM Ltd. melawan PT Bangun Karya Pratama Lestari (BKPL)
Nine AM Ltd. dan BKPL membuat Loan Agreement yang perjanjiannya hanya dibuat dalam Bahasa Inggris, tanpa translasi dalam Bahasa Indonesia, dengan pilihan hukum yang disepakati adalah hukum Indonesia. Akta Jaminan Fiducia yang ditulis dalam Bahasa Indonesia dibuat untuk menjamin perjanjian tersebut. Sejak Desember 2011, BKPL gagal bayar, berhenti melakukan pembayaran utangnya.
Setelah somasinya tidak mendapatkan respons dari BKPL, Nine AM Ltd mengajukan gugatan ke pengadilan menuntut pembayaran pinjaman berikut bunga. BKPL menanggapi gugatan tersebut dengan mengajukan gugatan terhadap Nine AM Ltd dengan tuntutan agar pengadilan menyatakan Loan Agreement batal demi hukum karena dibuat dalam Bahasa Inggris tanpa padanan atau terjemahan dalam Bahasa Indonesia sehingga melanggar UU No. 24/2009.
Pengadilan Negeri Jakarta Barat mengabulkan gugatan BKPL dan menyatakan Loan Agreement tersebut batal demi hukum berikut Akta Perjanjian Jaminan Fiducia sebagai perjanjian accessoir-nya, dan memerintahkan BKPL untuk mengembalikan sisa uang pinjamannya kepada Nine AM Ltd..
Pertimbangan Pengadilan Negeri Jakarta Barat adalah karena adanya kata “wajib” pada Pasal 31 UU No. 24/2009 dan Perpres No. 63/2019 sehingga penggunaan Bahasa Indonesia dalam perjanjian bersifat imperatif. Pengadilan Negeri Jakarta Barat berpendapat bahwa dengan tidak dipenuhinya kewajiban tersebut, maka Loan Agreement merupakan perjanjian terlarang karena dibuat dengan sebab yang terlarang vide Pasal 1335 KUHPerdata jo. Pasal 1337 KUH Perdata.(Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Putusan Nomor 451/Pdt.G/2012/PN Jkt Bar, hlm. 61)
Di tingkat banding dan kasasi, Pengadilan Tinggi Jakarta dan Mahkamah Agung menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat tersebut dan menolak permohonan banding dan kasasi dari Nine AM Ltd. (Pengadilan Tinggi Jakarta, Putusan Nomor 48/PDT/2014/PT DKI dan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan Nomor 601 K/Pdt/2015),
Dalam Putusan Kasasi, Hakim Agung Sudrajad Dimyati, S.H., M.H., menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion). Hakim Agung Sudrajad Dimyati berpendapat bahwa judex facti keliru, karena causa yang halal merupakan syarat objektif dari perjanjian, yang pada hakikatnya adalah isi atau materi dari perjanjian itu sendiri tidak boleh bertentangan dengan undang- undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Jadi causa yang halal bukan mengenai formalitas atau bentuk suatu perjanjian, melainkan materi/isinya.
Dalam pendapat berbeda tersebut juga menyatakan bahwa judex facti tidak mempertimbangkan asas keadilan, karena Nine AM Ltd. tidak mendapat keuntungan dari uang yang dipinjamkan, sementara BKPL mendapat untung dari jasa sewa truk yang dikuasainya.
Kasus 2: Ford melawan Cheung
Pada 2008, Ford (warga negara Inggris) menikah dengan Cheung (warga negara Cina). Sejak 2009 mereka tinggal di Bali dan menjadi pemegang 100% saham dari PT Alba Indah (berbadan hukum Indonesia).
Perkawinan mereka putus karena perceraian. Dalam proses perceraian, keduanya sepakat untuk membagi harta bersama termasuk pembagian kekayaan perusahaan, sebagaimana tertuang dalam Receivable and Liablity Agreement.
April 2019, Ford mentransfer 51% saham tersebut (senilai USD1.500.000) kepada Cheung dengan pembayaran bertahap. Akta perjanjian pembagian saham tersebut tercantum dalam Akta RUPS yang ditulis dalam Bahasa Inggris, tanpa terjemahan dalam Bahasa Indonesia.
Setelah perceraian, Ford berpendapat bahwa Cheung tidak memenuhi sebagian isi perjanjian, sehingga Ford mengajukan gugatan terhadap Cheung, menuntut agar Receivable and Liablity Agreement dinyatakan batal karena tidak memenuhi ketentuan UU No. 24/2009.
Pengadilan Negeri Amlapura memutuskan bahwa pelanggaran UU No.24/2009 tersebut bukanlah pelanggaran atas syarat sah objektif perjanjian berdasarkan Pasal 1320 Angka 4 KUHPerdata. Sepanjang motif dibuatnya kontrak bukan motif yang palsu, tidak dilarang oleh peraturan perundang- undangan dan/atau tidak didasarkan pada motif yang bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum, maka kontrak yang tidak memenuhi syarat Pasal 31 UU No. 24/2009 adalah tetap sah (vide Pasal 1336 KUHPerdata). Selain itu UU No. 24/2009 tidak mengatur sanksi atas pelanggaran Pasal 31, maka syarat untuk mengajukan pembatalan atas kontrak pun mewajibkan pembuktian bahwa pihak yang berkewajiban dapat atau telah merugikan dengan kontrak yang sedemikian itu (vide Pasal 1341 Ayat (3) KUHPerdata) (Pengadilan Negeri Amlapura, Putusan Nomor 254/Pdt.G/2019/PN Amp).
Kasus 3: PT. Citra Abadi Kota Persada (CAKP) melawan MDS Investment Holding Ltd. (MDS) dan PT ACR Global Investments (ACR)
CAKP, sebuah perusahaan Indonesia dan MDS perusahaan British Virgin Islands, menandatangani perjanjian pembelian saham PT Perdana Gapuraprima Tbk. (GPRA), sebuah perusahaan publik berbadan hukum Indonesia.
Perjanjian tersebut ditulis dalam Bahasa Inggris dengan pilihan hukum tunduk pada hukum Indonesia. Perjanjian tersebut tidak dibuat dalam bentuk akta notaris, tetapi telah dilegalisasi oleh pejabat notaris.
Alih-alih melunasi pembayaran kedua, MDS mengajukan persyaratan baru: meminta posisi untuk perwakilannya di pimpinan manajemen perusahaan penanaman modal dan meminta relaksasi untuk pembayaran kedua.
CAKP mengajukan gugatan wanprestasi terhadap MDS, dan Pengadilan Negeri Jakarta Timur mengabulkannya dengan menyatakan bahwa perjanjian pembelian saham sah dan mengikat, dan memerintahkan kepada CAKP untuk membayar sejumlah kompensasi (Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Putusan Nomor 275/Pdt.G/2018/PN Jkt Tim).
Pengadilan Tinggi Jakarta mereviu putusan tersebut. Dengan mengutip Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI No 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, Pengadilan Tinggi Jakarta menyatakan gugatan Penggugat tidak jelas atau kabur sehingga tidak dapat diterima (Pengadilan Tinggi Jakarta, Putusan Nomor 136/PDT/2020/PT DKI).
Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar yang dimaksud, berbunyi “Sertifikat dan dokumen asing sebagai alat bukti harus memenuhi syarat-syarat legalisasi baik di negara asal dan di Indonesia, disamping itu juga harus diterjemahkan oleh seorang penerjemah resmi dan disumpah di Republik Indonesia”, sehingga menurut Pengadilan Tinggi Jakarta, sebelum mengajukan gugatan, CAKP harus terlebih dahulu menerjemahkan perjanjian tersebut dengan penerjemah resmi yang disumpah.
Berbeda dengan putusan-putusan dalam dua perkara di atas, Pengadilan Tinggi Jakarta tidak menentukan apakah perjanjian yang dibuat tanpa menggunakan Bahasa Indonesia batal demi hukum atau tetap memiliki kekuatan mengikat. Pengadilan Tinggi Jakarta hanya menyatakan bahwa surat perjanjian yang demikian tidak memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai bukti di pengadilan, sebelum diterjemahkan oleh penerjemah resmi yang disumpah.
Titik Taut Primer dalam Perkara Pembatalan Perjanjian Berbahasa Asing
Putusan-putusan sebagaimana tersebut di atas mendasarkan amarnya pada pertimbangan hukum nasional dengan beberapa interpretasi berbeda, sementara dalam perkara-perkara tersebut terdapat bagian penting yang juga perlu dipertimbangkan, yaitu adanya Titik-titik Taut Primer.
Titik Taut Primer, yaitu “Fakta-fakta di dalam sebuah perkara atau peristiwa hukum, yang menunjukkan peristiwa hukum itu mengandung unsur- unsur asing dan karena itu, peristiwa hukum yang dihadapi adalah peristiwa Hukum Perdata Internasional dan bukan peristiwa hukum intern/domestik semata” (Bayu Seto Hardjowahono, 2013: 86).
Titik Taut atau Pertalian Primer adalah faktor-faktor dan keadaan- keadaan yang menciptakan persoalan Hukum Perdata Internasional (HPI). Faktor-faktor yang menimbulkan isu HPI yaitu: 1) kewarganegaraan, 2) domisili (de jure) atau tempat kediaman (de facto), dan 3) tempat kedudukan badan hukum (Ari Purwadi, 2016: 64).
Unsur asing dalam Nine AM Ltd. v. BPLK, adalah tempat kedudukan penggugat yang berada di Texas, USA. Dalam Ford v. Cheung, unsur asingnya adalah kewarganegaraan kedua belah pihak, penggugat berkewarganegaraan Inggris dan tergugat berkewarganegaraan China yang membuat perjanjian terkait badan hukum Indonesia, sedangkan dalam CAKP v. MDS, tergugat berbadan hukum dan berkedudukan di British Virgin Islands.
Dengan terdapatnya unsur-unsur asing yang menimbulkan isu HPI dalam perkara-perkara pembatalan perjanjian berbahasa asing tersebut di atas, maka penyelesaian perkara-perkara tersebut layak mempertimbangkan kaidah Hukum Perdata Internasional.
Kaidah Hukum Memaksa (Mandatory Rules) dalam Hukum Perdata Internasional
Dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Perdata Internasional (RUU HPI), Hukum Perdata Internasional (HPI) dirumuskan sebagai hukum nasional yang mengatur peristiwa-peristiwa dan hubungan-hubungan hukum perdata yang mengandung unsur asing (Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2014: Lampiran hlm. 2). Cheshire, sebagaimana dikutip oleh Ari Purwadi juga menyatakan bahwa “...Private International Law comes into operation whenever the court is faced with a claim that contains a foreign element.” (Ari Purwadi, 2016: 2). Penentuan tentang hukum yang seharusnya berlaku terhadap suatu perkara perdata yang mengandung unsur asing adalah termasuk salah satu persoalan dalam HPI.
Para pihak dalam kontrak komersial internasional memiliki kebebasan berkontrak atau otonomi kehendak untuk menentukan perjanjian mereka,namun kebebasan atau otonomi tersebut tidak tak terbatas. Sebagaimana kontrak pada umumnya, kontrak komersial internasional juga tidak boleh melanggar kepatutan dan kesusilaan serta bertentangan dengan ketertiban umum. Kebebasan dan otonomi tersebut juga dibatasi oleh kaidah hukum memaksa.
Kaidah hukum memaksa ini diatur dalam hukum yang berlaku. Sebagaimana disebutkan oleh Lorenzo bahwa salah satu fungsi dari hukum yang berlaku terhadap suatu kontrak adalah “Fungsi Pembatas”, yaitu mencegah klausul dalam kontrak bertentangan dengan kaidah hukum memaksa (Sixto Sanchez Lorenzo, 2010: 67).
Dalam pendapat Adolf, kaidah hukum memaksa adalah prinsip yang terpenting. Keabsahan dari setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak ditentukan oleh hukum nasional. Hukum nasional yang harus ditaati disebut sebagai kaidah hukum memaksa (mandatory or compulsory law). Para pihak tidak memiliki kewenangan untuk mengesampingkan hal ini. (Huala Adolf,2020: 40).
Dengan digunakannya kata “wajib” dalam ketentuan penggunaan Bahasa Indonesia dalam perjanjian yang melibatkan entitas Indonesia, maka penafsiran gramatikal menginterpretasikan ketentuan tersebut sebagai ketentuan imperatif/memaksa. Namun untuk melihat apakah ketentuan tersebut adalah ketentuan yang bersifat kaidah hukum memaksa yang didahulukan (overriding mandatory rules), masih perlu dikaji lebih lanjut.
Tidak semua kaidah hukum yang memaksa memiliki kedudukan didahulukan, hal mana menjadi pandangan umum dalam beberapa konvensi internasional, salah satunya dalam Pasal 9 Rome I (The Regulation of EC No.
593/2008) yang menyatakan bahwa hanya peraturan yang menurut negara yang bersangkutan dinilai krusial untuk menjaga kepentingan publik, seperti politik, sosial, dan ekonomi yang merupakan overriding mandatory rules.
Prinsip Kontrak Komersial Internasional UNIDROIT 2016 menyebutkan, overriding mandatory rules dapat diatur sendiri oleh sebuah negara, berasal dari konvensi internasional, kebiasaan masyarakat internasional, atau diadopsi oleh organisasi internasional. Namun jika suatu ketentuan tidak secara eksplisit diklasifikasikan sebagai overriding mandatory rules, maka diperlukan penafsiran untuk itu.
UU No. 24/2009 merupakan pengaturan lebih lanjut dari Pasal 36 UUD Negara RI Tahun 1945 yang menentukan bahwa bahasa negara adalah Bahasa Indonesia, dan dengan melihat konsideran UU No. 24/2009 sebagaimana tersebut di atas, maka kewajiban penggunaan Bahasa Indonesia dalam perjanjian adalah peraturan yang krusial untuk menjaga kepentingan publik, yaitu dalam bidang sosial dan politik. Untuk itu ketentuan ini dapat diklasifikasikan sebagai overriding mandatory rules.
Penerapan Prinsip Overriding Mandatory Rules
Dalam Pasal 15 Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional ditentukan bahwa, “Suatu perjanjian internasional mulai berlaku dan mengikat para pihak setelah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam perjanjian tersebut.”
Pada tanggal 2 September 2008, Indonesia mengesahkan statuta UNIDROIT dengan Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2008 tentang Pengesahan Statuta Lembaga Internasional untuk Unifikasi Hukum Perdata. Dengan pengesahan statuta tersebut, maka sebagai negara anggota Indonesia terikat pada prinsip-prinsip yang disepakati oleh UNIDROIT, termasuk Prinsip Kontrak Komersial Internasional UNIDROIT 2016.
Belum adanya landasan hukum operatif yang menjadi dasar implementasi prinsip-prinsip UNIDROIT dipandang sebagai hambatan pemberlakuannya terhadap kasus hukum konkret. Sebaliknya, penulis berpendapat dengan menggunakan metode penafsiran futuristik, RUU HPI dapat dijadikan dasar digunakannya kaidah HPI dalam kasus hukum konkret, sebagaimana disebutkan dalam Naskah Akademik RUU HPI yang menyatakan bahwa “Untuk menghindari kekosongan hukum, asas-asas umum HPI dari konvensi-konvensi hukum internasional khususnya yang mengatur HPI dapat dipakai tentunya sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan Undang- Undang Dasar 1945 dan falsafah Pancasila”. (Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2014: 73).
Dalam Pasal 3.3.1 Prinsip Kontrak Komersial Internasional UNIDROIT 2016 disebutkan bahwa jika peraturan yang memuat kaidah hukum memaksa tidak secara tegas mencantumkan akibat hukum dari pelanggaran peraturan tersebut, maka dalam hal terjadi pelanggaran, para pihak dapat mengajukan gugatan untuk penyelesaian masalah kontraknya jika beralasan.
Alasan tersebut khususnya adalah: a) tujuan dari aturan yang dilanggar, b) kategori pihak yang dilindungi dalam aturan tersebut, c) sanksi yang mungkin dikenakan dalam pelanggaran semacam itu, d) tingkat keseriusan dari pelanggaran, e) apakah salah satu atau kedua pihak mengetahui atau sepatutnya mengetahui pelanggaran itu, f) apakah pelaksanaan dari kontrak menjadi penyebab pelanggaran, g) harapan yang wajar dari para pihak. (UNIDROIT Principles of International Commercial Contract: 2016).
Dalam kaitannya dengan perkara-perkara sebagaimana tersebut di atas, para penggugat menuntut agar kontrak dibatalkan karena tidak menggunakan Bahasa Indonesia, sehingga untuk mencari penyelesaian terbaik perlu dipertimbangkan alasan-alasan penerapan prinsip overriding mandatory rules yang relevan.
Dari konsideran, tujuan diundangkannya UU No. 24/2009 adalah untuk melindungi kepentingan nasional, rakyat dan bangsa Indonesia secara keseluruhan, bukan individu atau pihak tertentu, bukan pula secara khusus melindungi pihak berkewarganegaraan atau berbadan hukum Indonesia, sehingga dalam ketentuan ini, pihak asing dan entitas Indonesia memiliki perlindungan yang sama.
Tingkat keseriusan dari pelanggaran kewajiban penggunaan Bahasa Indonesia ini pada level tertinggi berakibat pada dapat dibatalkannya perjanjian. Namun dengan melihat alasan lainnya bahwa kedua belah pihak dalam perjanjian tersebut pastilah mengetahui bahwa kontrak yang mereka tandatangani tidak menggunakan Bahasa Indonesia, maka menjadi tidak adil jika perjanjian tersebut dibatalkan atas tuntutan salah satu pihak yang juga turut andil dalam adanya pelanggaran itu, kecuali dapat dibuktikan adanya cacat kehendak di dalamnya.
Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka jenis remedi yang sesuai dengan pelanggaran ini adalah cukup agar para pihak dihukum untuk memperbaiki/melengkapi kontrak mereka dengan menggunakan Bahasa Indonesia yang diterjemahkan oleh penerjemah resmi yang tersumpah yang dapat diperintahkan untuk dipilih atas kesepakatan para pihak atau ditunjuk langsung oleh pengadilan.
Adanya kepastian mengenai akibat hukum dari pelanggaran ini akan memberikan perlindungan bagi iklim investasi dan perdagangan internasional di Indonesia. Disamping itu, dengan adanya remedi berupa perbaikan kontrak,akan menjaga kontrak tersebut tetap dapat dilaksanakan (enforceable) sehingga tetap memberikan kemanfaatan.
Bahasa nasional pihak asing dan/atau bahasa Inggris dalam kontrak tersebut tetap dapat digunakan sebagai padanan atau terjemahan dari naskah kontrak dalam Bahasa Indonesia untuk menyamakan pemahaman atas kontrak dengan pihak asing, dan selanjutnya kedua belah pihak dapat pula diperintahkan untuk menyepakati bahasa mana yang digunakan dalam hal terjadi perbedaan penafsiran.
Dalam hal terjadi pokok persengketaan lain terkait isi maupun pelaksanaan kontrak tersebut, hal itu merupakan persoalan lain di luar masalah overriding mandatory rules ini. Selanjutnya dalam hal terjadi perbedaan penafsiran terhadap padanan atau terjemahan kontrak, maka bahasa yang digunakan sebagai acuan dalam penyelesaian sengketa adalah bahasa yang disepakati dalam kontrak.
Daftar Pustaka
Adolf, Huala. Hukum Transaksi Bisnis Transnational (Transnational Business
Transaction Law). Bandung: Keni Media, 2020.
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Naskah Akademik RUU tentang Hukum Perdata Internasional. Jakarta, 2014.
Hardjowahono, Bayu Seto Hardjowahono. Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional Buku Kesatu Edisi Kelima (the Basics of the Private International Law, the Book One, Fifth Edition). Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2013.
Lorenzo, Sixto Sanchez. “Choice of Law and Overriding Mandatory Rules in International Contracts After Rome I,” dalam Yearbook of Private International Law. Volume 12, Germany: European Law Publishers&Swiss Institute of Comparative Law, 2010.
Purwadi, Ari. Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional. Surabaya: Pusat Pengkajian Hukum dan Pembangunan (PPHP) Fakultas Hukum Universitas Wijaya Kusuma, 2016.
Indonesia. Undang-Undang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, UU No.24 Tahun 2009, LN No. 5035 Tahun 2009.
Indonesia. Peraturan Presiden tentang Pengesahan Statute of the International Institute for the Unification of Private Law (Statuta Lembaga Internasional untuk Unifikasi Hukum Perdata, Perpres No. 59 Tahun 2008.
Indonesia. Peraturan Presiden tentang Penggunaan Bahasa Indonesia, Perpres No. 63 Tahun 2019. LN No. 109 Tahun 2009, TLN No. 5035.
European Union. Regulation (EC) of the European Parliament and of the Council on the Law Applicable to Contractual Obligations. No.593/2008 of 17 June 2008 (Rome I), 2008.
International Institute for the Unification of Private Law (UNIDROIT). Principles of International Commercial Contracts, 2016.
Mahkamah Agung Republik Indonesia. Putusan No. 601 K/Pdt/2015, 31 Agustus 2015.
Pengadilan Tinggi Jakarta. Putusan No. 48/PDT/2014/PT DKI, 7 Mei 2014.
Pengadilan Tinggi Jakarta, Putusan No. 136/PDT/2020/PT DKI, 17 April 2020.
Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Putusan No. 451/Pdt.G/2012/PN Jkt Bar.
Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Putusan No. 275/Pdt.G/2018/PN Jkt Tim.
Pengadilan Negeri Amlapura. Putusan No. 254/Pdt.G/2019/PN Amp.