Lambang Mahkamah Agung Republik Indonesia
Lambang Mahkamah Agung Republik Indonesia
Artikel / Senin, 4 Juni 2018 15:16 WIB / Sofyan Adi Irawan

EKSISTENSI DOKUMEN ELEKTRONIK DI PERSIDANGAN PERDATA

EKSISTENSI DOKUMEN ELEKTRONIK DI PERSIDANGAN PERDATA

Oleh : Dr. Riki Perdana Raya Waruwu, S.H., M.H.

Hakim Yustisial Biro Hukum dan Humas MA

 

PENGANTAR

Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) maka terdapat penambahan jenis alat bukti di persidangan yakni informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik. Dalam ketentuan umum UUITE dapat diketahui bahwa jenis data elektronik seperti tulisan, foto, suara, gambar merupakan informasi elektronik sedangkan jenis informasi elektronik seperti tulisan, foto, suara, gambar yang disimpan pada flash disk yang dapat dibuka melalui perangkat komputer merupakan dokumen elektronik.

Pengalihan data tertulis ke dalam bentuk data elektronik telah diatur sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan, pada bagian menimbang huruf F dinyatakan bahwa "kemajuan teknologi telah memungkinkan catatan dan dokumen yang dibuat di atas kertas dialihkan ke dalam media elektronik atau dibuat secara langsung dalam media elektronik”. Selanjutnya dipertegas “dokumen perusahaan dapat dialihkan ke dalam mikrofilm atau media lainnya dan merupakan alat bukti yang sah" sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 12 ayat (1) Jo Pasal 15 ayat (1) UU 8/1997. Hal ini berarti dokumen elektronik khususnya mengenai dokumen perusahaan merupakan alat bukti yang sah jauh sebelum diterbitkannya UUITE.

Tulisan ini secara khusus akan menguraikan eksistensi dokumen elektronik dalam persidangan perkara perdata sehingga tidak masuk pada ruang lingkup dokumen elektronik sebagai alat bukti petunjuk dalam Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maupun dokumen elektronik sebagai alat bukti lain dalam perkara pidana yang diatur dalam Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

UUITE DAN PENGAKUAN TERHADAP DOKUMEN ELEKTRONIK

Ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan (2) UUITE telah mengatur dengan jelas kedudukan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai alat bukti yang sah dan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Frasa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan UU sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (1) UUITE (Putusan MK Nomor 20/PUU-XIV/2016). Sesuai dengan materi muatan permohonan pada MK maka amar putusan tersebut mengarah pada proses hukum pidana dan bukan proses hukum perdata.

Syarat sahnya dokumen elektronik ialah apabila menggunakan sistem elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UUITE, khususnya dalam Pasal 6 UUITE yakni “informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan”. Selain itu, terdapat pula kekhususan dalam penyelenggaraan sertifikasi elektronik dan sistem elektronik serta transaksi elektronik.

Pengakuan Mahkamah Agung terhadap dokumen elektronik pada sistem peradilan pertama kali diketahui melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 14 Tahun 2010 tentang Dokumen Elektronik sebagai Kelengkapan Permohonan Kasasi dan Peninjauan Kembali. SEMA ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses minutasi berkas perkara serta menunjang pelaksanaan transparansi dan akuntabilitas serta pelayanan publik pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di bawahnya. Namun SEMA ini tidaklah mengatur tentang dokumen elektronik sebagai alat bukti melainkan dokumen elektronik berupa putusan maupun dakwaan yang dimasukkan pada compact disc, flash disk/dikirim melalui email sebagai kelengkapan permohonan kasasi dan peninjauan kembali.

SEMA ini telah mengalami perubahan berdasarkan SEMA 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas SEMA 14 Tahun 2010 tentang Dokumen Elektronik sebagai kelengkapan Permohonan Kasasi dan Peninjauan Kembali. Perubahan SEMA ini dilakukan berkaitan dengan sistem pemeriksaan berkas dari sistem bergiliran menjadi sistem baca bersama yang diarahkan secara elektronik. Dalam butir-butir SEMA terdapat penambahan detail dokumen-dokumen yang wajib diserahkan para pihak berperkara secara elektronik tapi sekali lagi kepentingannya bukan dalam kaitannya sebagai alat bukti elektronik. Perbedaan lainnya dengan SEMA yang lama ialah cara penyertaan dokumen melalui fitur komunikasi data (menu upaya hukum) pada direktori putusan Mahkamah Agung karena cara lama melalui compact disk dan pengiriman e-dokumen memiliki sejumlah kendala diantaranya data tidak terbaca, perangkat penyimpan data hilang dan lain-lain.

Simpulan singkatnya, SEMA tersebut mengakui dokumen elektronik untuk kelengkapan Permohonan Kasasi dan Peninjauan Kembali, bukan untuk alat bukti persidangan dan penyerahan dokumen oleh pengadilan tingkat pertama dilakukan melalui fitur komunikasi data dan tidak melalui perangkat flash disk/compact disk kecuali dalam keadaan khusus. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana cara penyerahan dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah dipersidangan? Disinilah terdapat kekosongan hukum acara, karena dalam UUITE maupun UU lainnya tidak mengatur mengenai tata cara penyerahannya di persidangan. Kalau dalam praktiknya ada yang menyerahkan melalui compact disk atau flash disk maka sesuai SEMA 1/2014 dijelaskan bahwa hal tersebut menyebabkan sejumlah kendala namun apabila dikirim melalui e-dokumen juga belum diatur tata cara pengirimannya. Tata cara penyerahan menjadi penting karena menyangkut sah atau tidaknya hukum acara perdata yang diterapkan dan dalam rangka memenuhi unsur "dijamin keutuhannya" pada Pasal 6 UUITE. Dijamin keutuhannya berarti tidak diubah-ubah bentuknya sejak dari dokumen elektronik tersebut disahkan.

Dalam hal dokumen elektronik telah diserahkan dipersidangan menurut tata cara yang diterima semua pihak berperkara, maka pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana apabila pihak lawan ingin melihat dokumen elektronik yang akan diajukan sebagai alat bukti tersebut ? Ketentuan Pasal 137 HIR mengatur bahwa “Pihak-pihak dapat menuntut melihat surat-surat keterangan lawannya dan sebaliknya, surat mana diserahkan kepada hakim buat keperluan itu”. Dalam menjaga asas keterbukaan pembuktian dipersidangan maka ketentuan 137 HIR juga harus dapat diterapkan pada dokumen elektronik ketika pihak lawan meminta untuk diperlihatkan. Untuk itu, diperlukan perangkat teknologi berupa laptop maupun proyektor agar dapat menampilkan/memperlihatkan dokumen elektronik dan inipun tidak diatur.

Selain itu, dokumen elektronik yang di dalamnya memuat tanda tangan elektronik wajib memenuhi sejumlah kriteria di dalam Pasal 11 UUITE sehingga memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah yakni a. data pembuatan tanda tangan elektronik terkait hanya kepada penanda tangan, b. data pembuatan tanda tangan elektronik pada saat proses penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa penanda tangan, c. segala perubahan terhadap tanda tangan elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dapat diketahui, d. segala perubahan terhadap informasi elektronik yang terkait dengan tanda tangan elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat diketahui, e. terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa penandatangannya; dan f. terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa penanda tangan telah memberikan persetujuan terhadap informasi elektronik yang terkait.  Butir-butir kriteria di atas juga mengandung aspek keamanan dokumen elektronik sebagaimana yang diamanatkan pada Pasal 12 ayat 1 pada UUITE, diantaranya keaslian (authentication), keutuhan (integrity), dan anti penyangkalan (non repudiation). Berikut pembagian kriteria dalam Pasal 11 UU ITE dan aspek jaminan keamanan dalam Pasal 12 UU ITE: 

a. data pembuatan tanda tangan elektronik terkait hanya kepada Penanda Tangan (Keaslian/Authentication)

b. data pembuatan tanda tangan elektronik pada saat proses penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa penanda tangan (Keaslian/Authentication)

c. segala perubahan terhadap tanda tangan elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dapat diketahui (Keutuhan/Integrity)

d. segala perubahan terhadap informasi elektronik yang terkait dengan tanda tangan elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat diketahui (Keutuhan/Integrity)

e. terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa Penandatangannya (Anti Penyangkalan/Non Repudiation)

f. terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa penanda tangan telah memberikan persetujuan terhadap informasi elektronik yang terkait (Anti Penyangkalan/Non Repudiation)

Tanda tangan elektronik yang mampu menjamin terpenuhinya butir a dan f adalah tanda tangan yang tersertifikasi dan dapat "dipertanggungjawabkan" sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UUITE. Hal ini karena berfungsi sebagai alat autentikasi dan verifikasi atas identitas penandatangan, keutuhan dan keautentikan informasi elektronik serta dibuat dengan menggunakan jasa penyelenggara sertifikasi elektronik sebagaimana dimaksud Pasal 54 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. 

Salah satu penyelenggara sertifikat digital atau elektronik, yang berisi tanda tangan digital dan identitas diri pemilik sertifikat yang telah berjalan adalah Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) yang dapat melayani keperluan lembaga pemerintah maupun selain pemerintah. Untuk memastikan standarisasi jasa penyelenggara sertifikasi elektronik, Kementerian Komunikasi dan Informasi sedang menyusun regulasinya.

Pengakuan lainnya terhadap dokumen elektronik semakin tegas dimuat pada Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 3 Tahun 2018 tentang Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik. Dalam ketentuan Pasal 17 PERMA tersebut diatur bahwa "Pengadilan menerbitkan salinan putusan/penetapan secara elektronik. Salinan putusan/penetapan Pengadilan yang diterbitkan secara elektronik dikirim kepada para pihak paling lambat 14 (empat belas) Hari sejak putusan/penetapan kecuali kepailitan/PKPU", pengiriman dilakukan melalui domisili elektronik. Namun sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (3) Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 271/DJU/SK/PS01/4/2018 diatur bahwa "salinan putusan /penetapan tidak dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah". Hal ini berarti, Peradilan Umum khususnya tetap wajib mengeluarkan putusan/penetapan dalam bentuk cetak yang dapat dipergunakan sebagai  alat bukti.

Salinan putusan dalam bentuk dokumen elektronik, kelak dapat ditandatangani secara elektronik apabila telah tersertifikasi dan terhadap salinan dokumen putusan yang demikian tidak perlu dicocokkan dengan aslinya sebagaimana alat bukti surat menurut Pasal 1.888 KUHPerdata. Sesuai dengan maksud Penjelasan Pasal 6 UUITE maka "Keaslian putusan dalam bentuk dokumen elektronik dengan putusan asli yang ditandantangani oleh Majelis Hakim tidak perlu dibandingkan karena dalam lingkup sistem elektronik, informasi yang asli dengan salinannya tidak relevan lagi untuk dibedakan sebab Sistem Elektronik pada dasarnya beroperasi dengan cara penggandaan yang mengakibatkan informasi yang asli tidak dapat dibedakan lagi dari salinannya".

PENUTUP

Eksistensi dokumen elektronik telah diakui sebagai alat bukti yang sah di persidangan perdata sesuai dengan UU Dokumen Perusahaan dan UUITE namun sebagai bagian dari hukum acara, dokumen elektronik belum memiliki pengaturan tata cara penyerahannya di persidangan, tata cara memperlihatkannya kepada pihak lawan dan sedang disusun regulasi mengenai standarisasi jasa penyelenggara sertifikasi elektronik. Tata cara penyerahan dan memperlihatkan dokumen elektronik dipersidangan dapat dijawab melalui pengembangan praktik di persidangan namun untuk memberikan kepastian hukum maka perlu diatur dalam Hukum Acara Perdata atau disusun dalam Peraturan Mahkamah Agung.




Kantor Pusat