SISTEM KAMAR DALAM MAHKAMAH AGUNG : UPAYA MEMBANGUN KESATUAN HUKUM - PROF.Dr.TAKDIR RAHMADI, SH., LLM
1. Pengantar
Sejak Tahun 2011 melalui Keputusan No. 142/KMA/SK/IX/2011 Tahun 2011, Ketua Mahkamah Agung telah memberlakukan sebuah kebijakan pemberlakuan sistem kamar pada Mahkamah Agung. Dengan sistem kamar ini hakim agung dikelompokan ke dalam lima kamar yaitu perdata, pidana, agama,tata usaha negara dan militer. Hakim agung masing-masing kamar pada dasarnya hanya mengadili perkara-perkara yang termasuk dalam lingkup kewenangan masing-masing kamar. Hakim agung kamar perdata hanya mengadili perkara perdata saja dan hakim agung kamar pidana hanya mengadili perkara pidana saja.Demikian pula hakim agung kamartata usaha negara hanya mengadili perkara tata usaha negara.Pada masa lalu sebelum sistem kamar berlaku, hakim agung lingkungan tata usaha negara juga mengadili perkara-perkara perdata atau majelis hakim agung – lazimnya terdiri atas seorang ketua dan dua orang anggota - yang kesemuanya berasal dari lingkungan peradilan agama dapat mengadili perkara perdata. Dengan system kamar, tidak lagi diperkenankan majelis hakim agung yang kesemuanya berasal dari lingkungan peradilan agama mengadili perkara perdata, tetapi seorang hakim agung dari lingkungan peradilan agama hanya dapat menjadi anggota majelis atau ketua majelis untuk mengadili perkara perdata bersama-sama dengan dua hakim agung lain dalam kamar perdata. Mengapa hakim agung dalam kamar agama masih dibolehkan mengadili perkara perdata didasari oleh pertimbangan bahwa jumlah perkara perdata sangat besar sedangkan jumlah hakim agung dalam kamar perdata masih belum mencukupi untuk mampu mengadili perkara secara tepat waktu sehingga masih memerlukan bantuan tenaga dari kamar lain, yaitu hakim agung kamar agama yang jenis perkara yang diadili masih berdekatan dengan jenis perkara dalam kamar perdata. Demikian pula, hakim agung kamar militer dapat ditugaskan untuk mengadili perkara dalam kamar pidana karena masih terdapat kedekatan jenis perkaranya. Bantuan tenaga untuk kamar perdata dan kamar pidana dari kamar-kamar lain yang jenis perkaranya mirip masih diperlukan karena jumlah perkara kasasi perdata dan pidana yang diajukan ke Mahkamah Agung setiap tahunnya lebih tinggi daripada kamar-kamar lainnya, sehingga jumlah tunggakan perkara dapat ditekan.
Penempatan hakim agung dalam sebuah kamar didasarkan pada keahlian mereka.Keahlian antara lain dapat dilihat dari bidang studi ilmu hukum yang dikaji ketika mengambil program S2 atau S3 atau pelatihan-pelatihan yang pernah diikuti. Penempatan hakim agung karir yang berasal dari lingkungan peradilan umum ke dalam kamar perdata atau kamar pidana pada dasarnya merupakan diskresi dari Ketua Mahkamah Agung Ketua Mahkamah Agung dengan melihat rekam jejak seorang hakim agung dapat menentukan kamar yang tepat dan sesuai bagi seorang hakim agung. Setiap kamar dipimpin oleh Ketua Kamar yang sebelum sistem kamar diberlakukan disebut juga sebagai Ketua Muda.Meskipun kebijakan pemberlakukan sistem kamar ini secara formal dicanangkan pada tahun 2011, implementasinya dilakukan secara bertahap.
2. Mengapa Perlu Sistem Kamar
Salah satu kritik yang dialamatkan pada Mahkamah Agung olehpara pencari keadilan pada umumnya dan para pemerhati peradilan pada khususnya adalah bahwa putusan-putusan majelis hakim agung dalam perkara-perkara kasasi atau PK yang permasalahan hukumnya sejenis atau serupa ternyata putusannya berbeda. Pada hal Mahkamah Agung adalah pemegang kekuasaan tertinggi kehakiman yang melalui putusan-putusannya diharapkan mampu memberikan arahan atau panduan kepada pengadilan di bawahnya dalam memutus permasalahan hukum. Namun , fungsi ini tidak dapat sepenuhnya dijalankan sehingga muncul ungkapan Mahkamah Agung dengan pelbagai wajah aliran putusan dalam perkara-perkara sejenis. Permasalahan ini disadari oleh pimpinan Mahkamah Agung sehingga upaya untuk mengatasinya menjadi salah satu agenda dalam program pembaruan peradilan sebagaimana tercantum dalam “Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2014.
Terjadinya perbedaan putusan untuk perkara-perkara kasasi yang permasalahan hukumnya sejenis atau serupa dapat terjadi karena banyaknya jumlah perkara kasasi yang diajukan kepada Mahkamah Agung sehingga perkara-perkara itu harus diadili oleh beberapa majelis hakim agung. Tiap majelis hakim agung yang biasanya terdiri atas seorang ketua dan dua orang anggota majelis bekerja secara terpisah atau mandiri. Berbeda dengan Mahkamah Konstitusi yang tiap perkara diadili oleh pleno hakim konstitusi sehingga keteraturan dan konsistensi relatif dapat dijaga. Oleh sebab itu, adalah alamiah jika antara satu majelis dengan majelis lainnya pada Mahkamah Agung dalam mengadili perkara-perkara yang sejenis ternyata putusannya berbeda karena praktik hukum pada dasarnya mengandalkan interpretasi terhadap norma hukum dan fakta yang terungkap dalam persidangan. Selain itu, rumusan ketentuan atau norma undang-undang yang sering ambigu sehingga menimbulkan multi interpretasi atau adanya pertentangan antar norma, atau norma yang tidak tuntas telah mendorong lahirnya pelbagai putusan di pelbagai tingkatan yang tidak mencerminkan konsistensi atau keteraturan hukum yang tentunya mengecewakan para pencari keadilan.
Meskipun perbedaan putusan hakim agung dapat terjadi karena faktor alamiah interpretasi, ketidakjelasan rumusan norma atau pertentangan antar norma dalam peraturan perundang-undangan, kenyataan ini tidak dapat dibenarkan dari sudut ilmu hukum sebab hukum yang mengatur masyarakat semestinya memiliki karakter yang sama dengan hukum fisika, yaitu mengandung sebuah keteraturan atau keajegan atau kepastian. Adalah menjadi tugas hakim untuk membuat jelas norma yang tidak jelas melalui putusan atas sebuah perkara. Hukum fisika selalu memperlihatkan adanya keteraturan dan kepastian, misalkan air jika dipanaskan pasti mendidih dan menguap atau air jika mencapai derajad terendah tertentu pasti membeku. Dimana pun dan kapan pun, air akan memperlihatkan sifat-sifat seperti itu. Hukum yang mengatur masyarakat atau perilaku subjek hukum semestinya juga memiliki sifat keteraturan, keajegan dan kepastian itu. Misalkan, jika asas hukum mengatakan bahwa setiap pembeli benda tidak bergerak yang beriktikad baik wajib memperoleh perlindungan hukum, walaupun ternyata belakangan diketahui bahwa penjual bukan pihak yang berhak atas benda yang diperjual belikan, maka semua majelis hakim dalam berbagai tingkat peradilan wajib menerapkan asas ini dalam mengadili perkara-perkara yang salah satu atau lebih pihaknya dianggap sebagai pembeli beriktikad baik. Adalah menjadi tugas majelis hakim agung untuk mengoreksi atau memperbaiki putusan hakim bawahan jika ternyata putusan hakim bawahan telah melanggar asas hukum perlindungan terhadap pembeli beriktikad baik.Sebaliknya, jika dalam sebuah perkara pembeli beriktikad baik dilindungi tetapi dalam perkara lainnya pembeli beriktikad baik tidak memperoleh perlindungan hukum, maka dalam situasi seperti ini terjadi ketidakadilan dan ketidakpastian hukum, atau ketidakteraturan hukum sebaliknya yang terjadi adalah kekacauan hukum.
Di dalam tradisi “common law” keteraturan, keajegan, keadilan dan kepastian hukum dibangun dengan merujuk prinsip stare decisis yaitu “like cases should be decided alike” (perkara yang sejenis atau mirip harus diputus dengan putusan yang mirip pula). Berdasarkan prinsip stare decisis, hakim dalam mengadili sebuah perkara harus mempedomani precedent, yaitu putusan hakim yang lebih tinggi yang telah membuat putusan atas kasus yang serupa pada masa lalu. Meskipun sistem hukum Indonesia tidak menganut doktrin stare decisis tetapi terjadinya perbedaan putusan dalam perkara-perkara yang mirip atau serupa tidak dapat dibenarkan pula karena hal itu bertentangan dengan rasa keadilan, kepastian hukum dan keteraturan hukum. Di dalam sistem hukum Eropa Kontinental, dikenal konsep yang disebut “legal uniformity” (kesatuan hukum). Sistem Peradilan Indonesia yang merupakan penganut sistem hukum Eropa Kontinental tentu harus pula membangun kesatuan hukum agar hukum Indonesia, khususnya praktik peradilan Indonesia menghasilkan putusan yang konsisten atau teratur sehingga rasa keadilan dan kepastian hukum dapat mewujud.
3. Rapat Pleno Kamar: Forum Menyatukan Pandangan Hukum Para Hakim Agung
Sejak pemberlakuan sistem kamar pada Mahkamah Agung, masing-masing kamar secara periodik menyelenggarakan rapat pleno kamar.Rapat pleno kamar berfungsi sebagai forum bagi para hakim agung untuk membahas penyelesaian permasalahan-permasalahan hukum yang belum ada kesamaan pendapat di antara para hakim agung.Di dalam rapat pleno ini, para hakim agung berdebat atau adu pendapat untuk mencapai kesatuan pendapat atau pandangan hukum tentang penyelesaian sebuah permasalahan hukum. Pada kenyataannya adalah tidak mudah bagi para hakim agung menyatukan pendapat. Ketidakmudahan untuk mencapai kesatuan pendapat bersumber dari adanya pandangan bahwa setiap majelis atau bahkan setiap hakim agung yang memeriksa dan memutus perkara pada dasarnya adalah mandiri (independent). Pandangan bahwa hakim adalah mandiri memang mengandung sebuah kebenaran dan keniscayaan, tetapi jika nilai dasar kualitas hakim itu digunakan sebagai dasar untuk penolakan upaya mencapai suatu kesatuan pendapat hukum, maka argumen itu dapat membahayakan upaya mewujudkan kesatuan hukum dalam sistem peradilan Indonesia. Kemandirian hakim mesti diartikan sebagai hakim bebas dari pengaruh lain pada waktu mengadili sebuah perkara. Sebaliknya, perdebatan dalam kamar adalah upaya mencapai kesepakatan pendapat terhadap norma yang masih kabur, penuh multi tafsir, terlalu umum perlu eloborasi, atau pertentangan norma dalam undang-undang. Misalkan, kembali kepada contoh terkait asas hukum bahwa pembeli beriktikad baik harus dilindungi, semua hakim agung atau hakim pada umumnya mengakui asas tersebut karena sudah turun temurun dikuliahkan oleh para dosen di fakultas hukum sejak dulu, tetapi persoalan yang muncul adalah pada detilnya, yaitu apakah kriteria pembeli beriktikad baik. Oleh karena itu, dalam sebuah majelis mungkin saja terdapat kesamaan pendapat dalam hal konsep umum tetapi berbeda pendapat dalam hal elaborasi atau detilnya. Rapat pleno kamar diharapkan dapat menjembatani para hakim agung untuk mencapai kesamaan pendapat tidak saja dalam hal konsep dasar tetapi juga detil atau perwujudan atau eloborasi dari konsep dasar itu. Namun demikian, kekuatan mengikat putusan kamar terhadap setiap hakim agung adalah bersifat moral dan tidak ada konsekuensi hukum apapun, sesuai Keputusan Ketua Mahkamah Agung No. 142/KMA/SK/IX/2011 pada angka 8: ”Putusan Rapat Pleno Kamar sedapat-dapatnya ditaati oleh majelis hakim.”
Ketidakmudahan lain untuk mempersamakan pendapat hakim agung bersumber pada putusan-putusan terdahulu yang tidak dapat diakses dengan mudah melalui website Mahkamah Agung karena tidak semua putusan-putusan terdahulu yang mengandung pandangan hukum berbeda berbeda atas permasalahan hukum yang sama telah diungguh ke dalam website atau tersedia dalam bentuk kopi lunak. Untuk mempersatukan pendapat di antara para hakim agung yang sekarang tentu diperlukan untuk membaca dan memahami “reason” dalam putusan-putusan dari majelis-majelis hakim agung terdahulu, sehingga dengan demikian hakim agung generasi sekarang dapat mengambil sikap atau pandangan atas pandangan yang berbeda di antara para pendahulu. Oleh sebab itu, keberhasilan sistem kamar perlu didukung oleh manajemen peradilan berbasis teknologi. Selain itu, teknologi informasi juga diperlukan untuk mengakses perkembangan terbaru peraturan perundang-undangan dan ringkasan karya-karya atau pandangan hukum para sarjana yang mungkin relevan digunakan untuk menjadi rujukan dalam putusan. Terlepas dari adanya tantangan-tantangan untuk mencapai kesatuan pendapat para hakim agung, sejak pemberlakuan sistem kamar, masing-masing kamar telah menghasilkan kesepakatan tentang kaidah-kaidah hukum atas sejumlah permasalahan hukum yang telah dipublikasikan oleh Sekretariat Kepaniteraan Mahkamah Agung, sehingga hakim bawahan dan masyarakat pencari keadilan atau masyarakat pada umumnya dapat memahami rumusan kaidah hukum hasil rapat kamar. Fakta ini tentunya merupakan sebuah kemajuan dalam kaitan dengan upaya membangun sebuah kesatuan hukum (legal uniformity).
4. Rapat Pleno Antar Kamar
Tantangan bagi sistem peradilan Indonesia menghasilkan kesatuan hukum adalah juga bersumber pada sistem peradilan Indonesia yang mengenal lebih dari satu lingkungan peradilan. Oleh karena itu, tidak jarang permasalahan hukum yang terjadi berada pada titik singgung kewenangan mengadili antara dua lingkungan peradilan, misalkan antara peradilan umum dan peradilan agama terkait budel waris yang telah dijual atau titik singgung antara peradilan umum dan peradilan tata usaha negara terkait sengketa kepemilikan dan keputusan tata usaha negara tentang bukti kepemilikan. Untuk mengatasi permsalahan titik singgung kewenangan antar dua lingkungan peradilan ini, rapat pleno kamar diadakan.
5. Penutup
Terjadinya perbedaan putusan-putusan majelis hakim agung untuk perkara-perkara yang mengandung permasalahan hukum sejenis atau serupa merupakan hambatan bagi terwujudnya keadilan dan kepastian hukum. Sistem kamar merupakan upaya untuk mengatasi hambatan itu sehingga sistem peradilan Indonesia dapat mewujudkan kesatuan hukum. Kesatuan hukum diperlukan karena para pencari keadilan dalam berbagai perkara akan memperoleh penyelesaian yang serupa untuk permasalahan hukum yang serupa sehingga terdapat perlakuan sama. Agar sistem kamar dapat memenuhi fungsinya, diperlukan pula dukungan manajemen perkara yang berbasis teknologi guna mengakses putusan-putusan terdahulu serta perkembangan peraturan perundang-undangan dan ringkasan karya-karya tulis para sarjana. Satuan Kerja di bawah Mahkamah Agung, terutama Pusat Penelitian Pengembangan Badan Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan Pelatihan Hukum dan Peradilan perlu meneliti dan mengkaji pula secara periodik untuk mengetahui sejauhmana kesatuan hukum telah dapat diwujudkan sejak pemberlakuan sistem kamar.