Lambang Mahkamah Agung Republik Indonesia
Lambang Mahkamah Agung Republik Indonesia
Berita / Kamis, 6 Desember 2018 08:38 WIB / Azizah

MA RI DAN MA BELANDA BERDISKUSI TENTANG PENTINGNYA YURISPRUDENSI

MA RI DAN MA BELANDA BERDISKUSI TENTANG PENTINGNYA YURISPRUDENSI

Bogor-Humas: Yurisprudensi memiliki kedudukan yang strategis dalam rangka kesatuan dan pengembangan hukum. Kesatuan hukum akan melahirkan keadilan karena semua kepentingan sosial dirangkum dalam nilai-nilai yang sama. Kesatuan hukum yang berasal dari putusan-putusan pengadilan juga akan membuat Putusan-putusan atas perkara yang serupa lebih mudah diprediksi hasil akhirnya sehingga menimbulkan kepastian hukum. Kepastian hukum merupakan faktor utama yang mendorong investor untuk menanamkan modalnya di suatu Negara yang secara langsung akan mendorong pertumbuhan ekonomi Negara tersebut.

Hal inilah yang antara lain disampaikan oleh President Hoge Raad Kerajaan Belanda, Yang Mulia Maarten Feteris  dalam pemaparannya baik di Fakultas Hukum Universitas Indonesia maupun di Pusdiklat Mahkamah Agung pada hari Rabu, 5 Desember 2018. Kegiatan bertajuk International Seminar “The Use of Case Law/Jurisprudence in Legal Education” di Fakultas Hukum UI diikuti oleh kurang lebih 200 peserta yang berasal dari Dekan Fakultas Hukum seluruh Indonesia dan Mahasiswa Fakultas Hukum dari berbagai Perguruan Tinggi. Sedangkan kegiatan di Pusdiklat Mahkamah Agung berupa Kuliah Umum dengan tema “Pentingnya Yurisprudensi untuk Kepastian Hukum Dalam Penegakan Hukum” diikuti oleh Para Ketua Pengadilan Tingkat Pertama dan Para Calon Hakim Angkatan VIII se wilayah Jabodetabek.

Maarten Feteris dalam pemaparannya lebih lanjut juga menjelaskan bahwa konsistensi hukum tidak hanya dibutuhkan oleh Para Pengacara yang akan memudahkan mereka dalam menilai pendapat akhir pengadilan atas suatu perkara, namun juga dibutuhkan dalam kajian-kajian ilmu hukum. Kajian-kajian inilah nantinya juga yang menjadi simultan dalam Putusan-putusan Mahkamah Agung berikutnya. Terkait dengan peranan Mahkamah Agung dalam pengembangan hukum, Presiden Hoge Raad menyampaikan bahwa hal ini dilakukan melalui putusan-putusan MA dengan beberapa cara diantaranya dengan memberikan penjelasan yang lebih detal mengenai legal reasoning atas suatu putusan yang dihasilkan oleh MA, jadi dalam hal ini MA tidak hanya sebatas memberikan putusan akhir saja namun juga dalam putusan itu MA memberikan argumen bagaimana MA sampai pada putusan tersebut. Cara lainnya yang juga dimungkinkan adalah dalam putusan MA tersebut suatu ketentuan hukum  secara lebih luas dapat diterapkan dibandingkan sebatas apa yang seharusnya hanya dibutuhkan untuk menjawab permasalahan hukum yang diperhadapkan ke MA, sehingga putusan tersebut pada tataran praktis akan lebih memperjelas suatu ketentuan yang diberlakukan pada suatu perkara yang sama di masa yang akan datang. Selain itu MA juga bisa berkontribusi dalam pengembangan hukum dengan memformulasikan kerangka hukum ketentuan-ketentuan umum  yang dipergunakan oleh MA dalam mengadili kasus yang serupa, yang mana teknik ini biasa dipergunakan oleh Pengadilan HAM Eropa dalam formulasi Prinsip-prinsip Hukum Umum yang termuat dalam Putusannya.

Ketua Kamar Pembinaan MA RI, Prof. Dr. Takdir Rahmadi, S.H., LL.M yang tampil sebagai pembicara kedua di Fakultas Hukum UI memaparkan perkembangan sistem Kamar di MA. Dalam pemaparannya, Prof. Dr. Takdir Rahmadi, S.H., LL.M menjelaskan berbagai kebijakan yang telah dikeluarkan oleh MA RI dalam menerapkan sistem Kamar yang hasilnya sudah bisa dirasakan saat ini terutama berkurangnya tunggakan perkara di Mahkamah Agung. Namun tantangan yang masih dihadapi dalam penerapan sistem Kamar menurut beliau yaitu perwujudan konsistensi putusan dan kesatuan penerapan hukum sebagai salah satu tujuan dari penerapan sistem Kamar. Oleh karena itulah, MA bekerjasama dengan Hoge Raad dalam rangka penguatan sistem kamar khususnya dalam pencapaian tujuan konsistensi putusan dan kesatuan penerapan hukum.

Prof. Adriaan Bedner dari Van Vollenhiven Institute, Universiteit Leiden meemaparkan bahwa berdasarkan penelitian yang dilakukannya, pada awal tahun 1970-an MA RI secara rutin dalam putusan-putusannya sering merujuk pada yurisprudensi. Namun kendala yang ada yaitu akses terhadap yurisprudensi yang terbatas sehingga menyulitkan dalam pemanfaatan yurisprudensi untuk putusan. Menurutnya saat ini hal yang perlu dilakuukan oleh Mahkamah Agung adalah mempublikasikan yurisprudensi-yurisprudensi, menata putusan-putusannya baik melalui kata kunci atau peraturan perundang-undangan yang dirujuk, membuat pertimbangan hukum dengan seksama, banyak membaca, dan merujuk pada putusan-putusan penting (landmark decisions).

Dalam seminar di Pusdiklat MA hadir pula pembicara dari konsultan hukum yang banyak menangani klien dari perusahaan-perusahaan asing yang akan menanamkan modalnya di Indonesia yaitu Gustaf Reerink. Dalam pemaparannya, Gustaf menyampaikan pentingnya kepastian hukum bagi para investor yang akan menanamkan modalnya di suatu Negara. Kepastian hukum ini tidak hanya berasal dari jelasnya peraturan perundang-undangan namun juga dari Putusan-putusan Hakim berupa yurisprudensi. Gustaf juga memaparkan bahwa keberadaan yurisprudensi di Indonesia masih meninggalkan beberapa pertanyaan terbuka misalnya terkait klausula pemilihan hukum asing, penegakan putusan arbitrase asing dengan alasan ketertiban umum dan kesusilaan, dan ganti rugi.

Para pembicara juga sepakat bahwa yurisprudensi sangat penting dalam beberapa hal, diantaranya penting bagi legislatif untuk membentuk undang undang, penting bagi hakim sebagai referensi bagi para hakim dalam memutus perkara dan juga penting bagi konsistensi hukum.

Mahkamah Agung Indonesia sendiri telah menerbitkan yurisprudensi sejak tahun 1949 namun sayangnya, menurut Ketua Asosiasi Dekan Fakultas Hukum se-Indonesia, Prof. Dr. Farida Patitingi,SH,MH,  yurisprudensi ini belum bisa diakses oleh masyarakat terkhusus akademisi hukum. Menanggapi hal ini, Prof. Takdir Rahmadi menyampaikan bahwa kemungkinan bukan karena tidak bisa diakses, namun karena memang bentuknya masih hardcopy dan dicetak dalam jumlah yang terbatas membuat yurisprudensi tidak mudah diakses. Menurut Prof. Takdir kini Yurisprudensi Mahkamah Agung sudah diterbitkan secara elektronik, sehingga siapapun di manapun bisa mengakses Yurisprudensi Mahkamah Agung melalui website www.mahkamahagung.go.id pada laman JDIH.

Pada kesempatan tersebut Ketua MA Belanda mengatakan bahwa yurisprudensi di MA Belanda adalah semua putusan yang dikeluarkan oleh MA Belanda, sedangkan Prof. Takdir mengatakan bahwa yurisprudensi MA RI adalah kumpulan putusan-putusan yang menarik perhatian masyarakat dari masing-masing kamar.

Perbedaan ini terjadi menurut Prof. Takdir karena jika di MA Belanda seluruh hakim bisa membahas semua jenis perkara dalam satu kamar, namun di MA RI setiap kamar membahas perkara masing-masing, dan masing-masingnya tersebut tidak mengetahui pembahasan yang dilakukan oleh kamar-kamar lain. “Jadi, berbeda dengan MA Belanda, di mana semua putusan MA adalah yurisprudensi.” terang Prof. Takdir.

Kegiatan ini diharapkan bisa menjadi peluang antara MA RI dan MA Belanda untuk belajar dari pengalaman satu sama lain yang akan menguatkan pelaksanaan hukum dan lembaga hukum di kedua negara. (Azh/FAT/RS)




Kantor Pusat