Nomor 6 Edisi Desember 2014 –
MAHKAMAH AGUNG
–
59
c
KOLOM
formal menurut Simons, “untuk dapat dipidana, perbuatan
harus mencocoki rumusan delik yang tersebut dalam
wet
(undang-undang)” (lih. Prof. Moeljatno, S.H.,
Asas-Asas
Hukum Pidana,
Rineka Cipta, Jakarta, 2008, h.143).
Dalam praktek, masih banyak ditemukan putusan
ju-
dex facti
yang dalam mempertimbangkan unsur melawan
hukum hanya mengutip kembali penjelasan Pasal 2 ayat
(1) UUPTPK, tanpa mengaitkannya dengan putusan MK
a quo.
Praktek tersebut hendaknya tidak dilakukan lagi
oleh
judex facti
maupun
judex juris
agar sinkron dengan
putusan MK di atas.
Meski demikian, setelah dikemukakan dasar hukum
formal tersebut, hakim hendaknya memperhatikan pula
ketentuan Pasal 5 (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, yakni “Hakim dan hakim konsti-
tusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
Hakim tetap memiliki kebebasan untuk mempertimbang-
kan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup da-
lam masyarakat secara kasuistis.
Ajaran melawan hukum materiil
(materiele wederrech-
telijkheid)
dengan fungsi positif tentu tidak sejalan dengan
KUHP yang menganut ajaran legalitas. Sifat melawan hu-
kum materiil ini hanya digunakan dalam fungsinya yang
negatif, yakni suatu perbuatan yang sesuai dengan lukisan
undang-undang tidak merupakan perbuatan pidana atau
tidak melawan hukum berdasarkan penilaian hakim da-
lam perkara
in concreto.
Di sinilah peran hakim dalam menerapkan ajaran me
lawan hukum materil dalam fungsi negatif dengan mem-
perhatikan hukum serta rasa keadilan masyarakat. Seperti
putusan Mahkamah Agung No.42K/Kr/1965 tgl. 8 Janu-
ari 1966 dalam kasus Machrus Effendy, yang menguatkan
putusan/pertimbangan Pengadilan Tinggi Jakarta. Pada
pokoknya dapat disimpulkan, bahwa suatu perbuatan
formal bertentangan dengan peraturan perundang-un-
dangan atau melawan hukum formal akan tetapi sifat
melawan hukum dari perbuatan itu menjadi hilang dalam
hal: (a) kepentingan umum terlayani; (b) terdakwa tidak
mendapat untung; dan (c) negara tidak dirugikan.
Permohonan Peninjauan Kembali
Putusan MK No. 34/PUU-XI/2013 tentang Pengajuan
Permohonan Peninjauan Kembali (PK) dalam Perkara
Pidana, dalam amar putusannya, menyatakan al.: “Pasal
268 ayat (3) KUHAP...tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.” Kaidah hukum yang dapat ditarik dari putusan
MK
a quo
adalah bahwa permohonan PK menurut keten-
tuan Pasal 268 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP dapat dilaku-
kan lebih dari satu kali atau berulang-ulang.
Permohonan Peninjauan Kembali (PK) sangat dina-
mis dalam penerapannya. Pada rapat pleno Kamar Pidana
yang dilakukan dua tahun beturut-turut (2012 dan 2013),
pokok bahasan PK sangat dominan. Rumusan dari kedua
pertemuan ini telah dituangkan dalam Surat Edaran Mah-
kamah Agung masing-masing Nomor 07 Tahun 2012 dan
Nomor 04 Tahun 2014.
Untuk mendukung lahirnya putusan PK yang berkua
litas, peran
judex facti,
terutama PN pengaju, sangat besar,
khususnya dalam pembuatan berita acara pemeriksaan
dan berita acara pendapat. Hakim yang ditunjuk untuk
memeriksa permohonan PK, sebelum diajukan ke MA,
hendaknya memberikan pertimbangan dan pendapat
berupa usul agar permintaan PK ditolak atau dikabulkan,
sesuai dengan persyaratan Pasal 263 ayat (2) KUHAP.
Tentu, pengadilan pengaju tidak diharapkan menjadi se-
kedar pipa aliran tanpa suatu pendapat yang berarti.
Kasasi terhadap Putusan Bebas
Putusan MK No. 114/PUU-X/2012 tanggal 26 Maret
2013 berkaitan dengan Pasal 244 KUHAP. Amar putus
an angka 1.2 “Menyatakan frasa
“kecuali terhadap putus
an bebas”
dalam Pasal 244 KUHAP....tidak mempunyai
kekuatan mengikat.” Dari putusan MK
a quo
, dapat di-
tarik kaidah hukum, bahwa permohonan kasasi menurut
ketentuan Pasal 244 KUHAP dapat dilakukan terhadap
putusan bebas.
Dengan lahirnya putusanMK ini
,
jaksa penuntut umum
(JPU) tidak lagi dibebani untuk membuktikan dalam
memorinya bahwa putusan
judex facti
adalah pembebasan
tidak murni
(onzuivere vrijspraak)
. Putusan
judex facti,
apa
pun bentuknya, dapat dimohonkan kasasi tanpa membe-
dakan jenis putusan yang (1) menghukum, (2) melepaskan
dari segala tuntutan hukum, atau (3) membebaskan.
Teknik Pembuatan Putusan
Di samping substansi hukum dan pertimbangan yang
baik seperti telah dikemukakan di atas, sisi lain yang juga pa-
tut diperhatikan untuk meningkatkan kualitas putusan ada-
lah aspek penulisan putusan, termasuk penggunaan bahasa.
Format baku putusan sudah ada. Namun perlu di
tingkatkan kemampuan menyusun kalimat demi kali-
mat berdasarkan tata bahasa yang baik dan benar, sesuai
dengan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan. Pertimbangan hukum harus disusun se-
cara teratur. Dan teknik penulisan harus berdasarkan tata
cara penulisan ilmiah yang baku dan/atau yang lazim di-
gunakan untuk pembuatan dokumen otentik.
*Hakim ad hoc Tipikor pada Mahkamah Agung sejak
27 Oktober 2010; anggota DPR RI 1999-2004; dosen/guru
besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar
(1972-2000).